Oleh : Muhammad Iqbal Fauzi (Alumni MTs Hidayaturrohman 2006 & SMA Hiro 2009)
KONTROVERSI
ISLAM DI KAMPUNG NAGA
Kampung Naga telah lama dikenal sebagai
salah satu kampung adat di Jawa Barat, dimana perkampungan ini dihuni oleh
sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan
leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda.
Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi objek kajian antropologi
mengenai kehidupan masyarakat pedesaan Sunda di masa peralihan dari pengaruh
Hindu menuju pengaruh Islam di Jawa Barat. Kampung ini secara administratif
berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya,
Provinsi Jawa
Barat.
Baca Selengkapnya
Menurut salah satu versi sejarahnya, Kampung Naga bermula
pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Kemudian seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk
menyebarkan agama Islam ke arah barat dan sampai di daerah Neglasari. Di tempat
tersebut, Singaparana disebut Sembah Dalem Singaparana oleh masyarakat
setempat. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk untuk bersemedi. Dalam
persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu
tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.
Tokoh leluhur Kampung Naga yang paling berpengaruh dan
berperan bagi masyarakat setempat adalah Eyang Singaparana atau Sembah
Dalem Singaparana atau Eyang Galunggung, yang dimakamkan di sebelah
barat Kampung Naga. Makam ini dianggap sebagai makam keramat yang selalu
diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya. Lokasi
Kampung Naga sendiri tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut
dengan kota Tasikmalaya.
Selain itu, ada versi lain yang mengatakan mengenai sejarah
dari Kampung Naga, yaitu bahwa kampung ini dahulunya berasal dari para prajurit
Sultan Agung Mataram yang kalah perang, dan ketika mereka mundur untuk kembali
ke Mataram mereka beristirahat di tempat yang sekarang disebut Kampung Naga,
setelah sampai di tempat ini mereka memutuskan menetap. Mereka inilah yang
dianggap leluhur masyarakat Naga.
Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas alam
di sebelah Barat berupa hutan yang dianggap keramat karena terdapat makam
leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah Selatan dibatasi oleh sawah-sawah
penduduk, dan di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh Sungai Ciwulan yang
sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Untuk menuju Kampung
Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah
ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi Sungai Ciwulan dengan kemiringan
sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan
setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan
rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau
alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus
menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah
Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag.
Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh
menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya
kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua
arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang
masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu
belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari
memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, akan
tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang
adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka
menyatakan memeluk agama Islam, syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda
dengan pemeluk agama Islam lainnya. Bagi masyarakat Kampung Naga dalam
menjalankan agamanya sangat patuh pada warisan nenek moyang. Umpanya sembahyang
lima waktu: Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan shalat Isya, hanya dilakukan
pada hari Jumat. Pada hari-hari lain mereka tidak melaksanakan sembahyang lima
waktu. Pengajaran mengaji bagi anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada
malam Senin dan malam Kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan
pada malam Jum’at.
Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji,
mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah, namun
cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan
dengan Hari Raya Haji yaitu
setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah).
Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama
dengan Hari Raya Idul
Adha
dan Hari Raya Idul
Fitri. Dapat kita saksikan sendiri, kultur Islam di Kampung Naga
yang berbeda sungguh amat sangat disayangkan, karena hal itu merupakan wujud
nyata penyimpangan terhadap Islam sebagai agama, terutama tentang paham
melaksanakan shalat lima waktu hanya sehari dalam seminggu saja.
Padahal yang namanya Islam haruslah sesuai dengan syariat
agama Islam itu sendiri, apalagi mengenai rukun Islam yang ketentuannya sudah
tidak bisa ditawar atau diganggu gugat kecuali ada udzur. Kegiatan
ke-Islaman yang dilakukan masyarakat Kampung Naga sudahlah menyimpang dari
ketentuan ajaran Islam, terlebih lagi mengenai proses sholat lima waktu yang
hanya dilakukan satu hari dalam satu minggu. Inilai kontroversi Islam yang
terjadi di Kampung Naga, mereka lebih memegang erat adat warisan nenek moyang
ketimbang ketentuan agama yang mereka anut (Islam).
Seharusnya, masyarakat Kampung Naga membuat agama tersendiri
berdasarkan keyakinan terhadap nenek moyang mereka tanpa mengaitkan kata Islam
pada kepercayaan mereka. Karena secara tidak langsung mereka telah merubah dan
merusak citra agama Islam dengan menomor duakan syariat Islam daripada
kepercayaan mereka terhadap adat warisan nenek moyang.
Islam sendiri tidak melarang suatu adat istiadat apabila
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, masalah mengenai kontroversi Islam di
Kampung Naga adalah mengenai bukannya adat istiadat mereka yang sisesuaikan
dengan syariat Islam tetapi sebaliknya, dalam artian syariat Islam yang
mengikuti adat istiadat warisan nenek moyang mereka. Menurut hemat penulis,
masyarakat Kampung Naga harus mengalami pembaharuan. Pembaharuan yang dimaksud
bukanlah suatu pembaharuan mengenai penetapan adat istiadat mereka sebagai
acuan beragama, tetapi syariat agama yang harus mereka jadikan acuan dalam
melestarikan adat istiadat warisan nenek moyang mereka, atau dengan menetapkan
keyakinan mereka terhadap adat istiadat nenek moyang sebagai agama mereka dan
tidak menyertai kata Islam di dalamnya.
Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan
menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur
atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung
Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu.
Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti
melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan
malapetaka.
Sumber:
http://www.uniknya.com/2011/08/5-wisata-kampung-adat-di-jawa-barat/