Jumat, 25 Mei 2012

Oleh : Muhammad Iqbal Fauzi  (Alumni MTs Hidayaturrohman 2006 & SMA Hiro 2009)

KONTROVERSI ISLAM DI KAMPUNG NAGA
Kampung Naga telah lama dikenal sebagai salah satu kampung adat di Jawa Barat, dimana perkampungan ini dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda. Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi objek kajian antropologi mengenai kehidupan masyarakat pedesaan Sunda di masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam di Jawa Barat. Kampung ini secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.
Baca Selengkapnya

Menurut salah satu versi sejarahnya, Kampung Naga bermula pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Kemudian seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke arah barat dan sampai di daerah Neglasari. Di tempat tersebut, Singaparana disebut Sembah Dalem Singaparana oleh masyarakat setempat. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk untuk bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.
Tokoh leluhur Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat setempat adalah Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana atau Eyang Galunggung, yang dimakamkan di sebelah barat Kampung Naga. Makam ini dianggap sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya. Lokasi Kampung Naga sendiri tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya.
Selain itu, ada versi lain yang mengatakan mengenai sejarah dari Kampung Naga, yaitu bahwa kampung ini dahulunya berasal dari para prajurit Sultan Agung Mataram yang kalah perang, dan ketika mereka mundur untuk kembali ke Mataram mereka beristirahat di tempat yang sekarang disebut Kampung Naga, setelah sampai di tempat ini mereka memutuskan menetap. Mereka inilah yang dianggap leluhur masyarakat Naga. 
Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas alam di sebelah Barat berupa hutan yang dianggap keramat karena terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah Selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh Sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi Sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya. Bagi masyarakat Kampung Naga dalam menjalankan agamanya sangat patuh pada warisan nenek moyang. Umpanya sembahyang lima waktu: Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan shalat Isya, hanya dilakukan pada hari Jumat. Pada hari-hari lain mereka tidak melaksanakan sembahyang lima waktu. Pengajaran mengaji bagi anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam Jum’at.
Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji, mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah, namun cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan Hari Raya Haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri. Dapat kita saksikan sendiri, kultur Islam di Kampung Naga yang berbeda sungguh amat sangat disayangkan, karena hal itu merupakan wujud nyata penyimpangan terhadap Islam sebagai agama, terutama tentang paham melaksanakan shalat lima waktu hanya sehari dalam seminggu saja.
Padahal yang namanya Islam haruslah sesuai dengan syariat agama Islam itu sendiri, apalagi mengenai rukun Islam yang ketentuannya sudah tidak bisa ditawar atau diganggu gugat kecuali ada udzur. Kegiatan ke-Islaman yang dilakukan masyarakat Kampung Naga sudahlah menyimpang dari ketentuan ajaran Islam, terlebih lagi mengenai proses sholat lima waktu yang hanya dilakukan satu hari dalam satu minggu. Inilai kontroversi Islam yang terjadi di Kampung Naga, mereka lebih memegang erat adat warisan nenek moyang ketimbang ketentuan agama yang mereka anut (Islam).
Seharusnya, masyarakat Kampung Naga membuat agama tersendiri berdasarkan keyakinan terhadap nenek moyang mereka tanpa mengaitkan kata Islam pada kepercayaan mereka. Karena secara tidak langsung mereka telah merubah dan merusak citra agama Islam dengan menomor duakan syariat Islam daripada kepercayaan mereka terhadap adat warisan nenek moyang.
Islam sendiri tidak melarang suatu adat istiadat apabila sesuai dengan ketentuan yang berlaku, masalah mengenai kontroversi Islam di Kampung Naga adalah mengenai bukannya adat istiadat mereka yang sisesuaikan dengan syariat Islam tetapi sebaliknya, dalam artian syariat Islam yang mengikuti adat istiadat warisan nenek moyang mereka. Menurut hemat penulis, masyarakat Kampung Naga harus mengalami pembaharuan. Pembaharuan yang dimaksud bukanlah suatu pembaharuan mengenai penetapan adat istiadat mereka sebagai acuan beragama, tetapi syariat agama yang harus mereka jadikan acuan dalam melestarikan adat istiadat warisan nenek moyang mereka, atau dengan menetapkan keyakinan mereka terhadap adat istiadat nenek moyang sebagai agama mereka dan tidak menyertai kata Islam di dalamnya.
Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.

Sumber:
http://www.uniknya.com/2011/08/5-wisata-kampung-adat-di-jawa-barat/